Monday, September 30, 2019

Lahirnya Suku Toraja dan Tondok Lepongan Bulan ~ Kadadianna Tondok Toraya



Kalau pernah dengar kata “Eran Dilangi’”, yang artinya “Tangga dari dan ke langit”, dipercaya bahwa leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana, cerita ini tetap melegenda secara lisan di kalangan masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja yang pertama menggunakan "tangga dari langit" untuk turun dari nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai akses untuk berkomunikasi dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa).

Namun berbeda dengan versi dari DR. C. CYRUT seorang antropolog, dalam penelitiannya menuturkan bahwa masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk (lokal/pribumi) yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang yang notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin (daratan Cina). Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut berawal dari berlabuhnya imigran Indo Cina dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan lokasinya di daerah <, kemudian para imigran ini membangun pemukimannya di daerah tersebut.

Dan tulisan di blog "Raputalangku" yang dirangkum dari:
Red.Raputallangku, Buku pedoman sejarah(perpustakaan Unhas), toraja-culture(blog), Jansen Tangketasik(UI.2010), Simon Petrus(filosofi budaya Toraja, live TVRI), Suku Toraja awalnya adalah bagian dari suku protomelayu bersama dengan suku batak karo, minangkabau, dayak dan tagalok (ke Philipina) yang menjadi suku-suku pertama yang datang ke Indonesia.

Suku protomelayu memiliki ciri khas lukisan atau ukiran bukan tulisan, sehingga setiap sejarah atau kejadian penting yang terjadi pada masa lalu, tidak mempunyai peningggalan bukti tertulis. Suku ini berasal dari beberapa wilayah yakni Dongson,annam,Yunan, di China, sebagian dari Mongolia.
Untuk nenek moyang suku Toraja, diperkirakan datang sekitar abad ke-6(enam) yang datang dengan perahu-perahu melalui sungai yang besar menuju ke pegunungan sulawesi selatan. yang akhirnya menduduki pegunungan termasuk pegunungan-pegunungan di Toraja, yang sesuai dengan fakta yang ada mereka itu kebanyakan datang dari selatan Toraja.

Mereka datang dalam kelompok-kelompok, yang dalam sejarah Toraja kelompok-kelompok itu disebut Arroan(Kelompok manusia). menyusuri sungai dengan perahu hingga mereka tidak dapat lagi melayarkan perahunya sehingga menambatkan perahu mereka dipinggir-pinggir sungai dan ditebing-tebing gunung disungai yang dilaluinya. perahu-perahu mereka itu dijadikan tempat mereka tinggal sehingga didalam sejarah Toraja ada istilah Banua Ditoke' (Banua = Rumah, Ditoke’=Digantung).

Menurut sejarah Toraja Tiap-tiap arroan itu dipimpin oleh seorang pemimpin yang dinamakan yang dinamakan Ambe’ Arroan ( Ambe’= Bapak, Arroan = Kelompok manusia). arroan-arroan atau kelompok-kelompok manusia itu tidak datang sekaligus. mereka datang berangsur-angsur dan masing-masing arroan itu menempati menempati tempat tertentu untuk menyusun persekutuan keluarga masing-masing dibawah pimpinan ambe’ arroan.

Lama kelamaan keluarga atau anggota dari arroan-arroan ini bertambah banyak dan perlu mempunyai tempat tinggal yang lebih luas. sehingga merekah terpecah-pecah/tersebar pergi mencari tempat masing-masing dalam bentuk keluarga kecil yang dinamai Pararrak (Pencaran/Penjelajah) dengan dipimpin oleh seorang kepala/pemimpin pararrak yang di namai Pong Pararrak(Pong = Utama) yang artinya kepala pememimpin penjelajah.

Dengan meratanya daerah yang telah dikuasai oleh penyebaran kelompok-kelombok keluarga Arroan dan Pararrak ini maka seluruh pelosok pegunungan dan dataran tinggi sudah terdapat penguasa-penguasa kecil dari penguasa Ambe' atau Pong yang perkembangannya sangat nyata dimasyarakat Toraja disamping Gelar-gelar yang lainnya.

Lama kelamaan kelompok kelompok kecil ini (Pararrak) menjadi besar serta anggotanya semakin banyak dan mereka berkuasa dimasing-masing tempat mereka berkuasa. dan mereka mempunyai pemerintahan sendiri seperti arroan yang dinamakan pula Pong Arroan.
Beberapa kelompok Arroan dan Pararrak menyebar jauh ke utara hingga mencapai Rantepao kemudian semakin menyebar ke bagian utara Rantepao.

Ada juga kelompok arroan yang menyebar lebih jauh lagi ke Galumpang, Makki(Mamuju), Pantilang, Rongkong, Seko(Luwu), Suppirang(Pinrang), dan Mamasa.
Beberapa waktu kemudian,datanglah kelompok-kelompok baru dengan masing-masing kelompok dipimpin oleh seseorang yang diberi gelar Puang. Puang dari kata puang Lembang, disebutkan sebagai pemilik. Puang=pemilik, Lembang=kapal. Kemungkina besar juga masih berasal dari daerah yang sama dengan kelompok Arroan, yakni dari Indochina.

Mereka datang dari arah selatan dengan perahu-perahunya dan pengikutnya melalui sungai. setelah perahu mereka tidak lagi dapat melalui sungai karena air yang desar dan berbat-batu maka sebagian manambatkan perahunya dan sebagian membongkar perahunya dan membawa kerangkanya ke gunung tempat mereka akan tinggal bersama dengan pengikutnya karena belum ada tempat bernaung sehingga mereka membuat rumah dari kerangka perahu yang mereka bongkar itu. Dalam sejarah Toraja disebut tempat perkampungan yang pertama dari Puang - Puang Lembang ialah Bamba Puang (Bamba = Pangkalan/Pusat, Puang = yang memiliki ).

Penguasa – penguasa ini mempunyai tata masyarakat tersendiri dan memiliki cara pemerintahan tersendiri, namun mereka masih dalam kelompok kecil di daerah Bambapuang. Dari sini pula mereka kemudian menyebar ke daerah lain dan menjadi penguasa daerah yang ditempatinya, dan tidak lagi dikenal sebagai Puang Lembang (Pemilik Perahu) tetapi Puang dari daerah yang dikuasainya misalnya :

Puang ri Lembang (Pemilik perahu)
Puang ri Buntu ( penguasa daerah Buntu)
Puang ri Tabang (penguasa daerah Tabang)
Puang ri Batu (penguasa daerah Batu)
Puang ri Su’pi’ (penguasa daerah Su’pi’) dll


Setelah para Puang yang menguasai tiap tempat makin bertambah banyak pengikutnya, maka timbullah persaingan kekuasaan di antara mereka, dimana sebagian Puang mulai merebut daerah kekuasaan Pong Pararrak atau Ambe’ Arroan yang lebih dulu memiliki kekuasaan terlebih dulu, dan menimbulkan kekacauan dalam masyarakat.

Hal ini membuat sebagian Puang membujuk Pong Pararrak dan Ambe’ Arroan untuk bersekutu untuk melawan Puang yang lain. Persekutuan ini kemudian disebut Bongga (Bongga = besar, hebat, dahsyat). Sebagai pimpinan Bongga maka diangkat Puang yang kuat di antara mereka yang dalam kedudukannya dinamakan Puang Bongga (yang memiliki kekuasaan yang kuat dan hebat), seperti yang terkenal dalam sejarah Toraja seorang penguasa Bongga yang terkenal adalah Puang Bongga Erong.

Karena persaingan yang begitu hebat dan terus – menerus di kalangan Puang – Puang ini, maka pengaruh dari penguasa Puang di daerah Bambapuang makin merosot, apalagi setelah terjadi perpindahan beberapa Puang ke bagian utara Bambapuang untuk mencari tempat yang lebih aman untuk menerapkan pemerintahannya. Tetapi berbeda dengan Pong Pararrak yang ada di bagian utara, tidak terjadi persaingan karena masing – masing menguasai daerah yang sudah ditempatinya.


Dari ketiga bagian cerita diaatas memang ada beberapa yang sama tapi saya tidak bisa menyimpulkan secara pribadi, jadi bagi pembaca silahkan memilih cerita yang paling masuk akal menurut anda karena sampai saat ini belum ada sejarawan yang mampu menyimpulkan tentang asal usul orang toraja.

ASAL USUL MUNCULNYA “TANA TORAJA”

Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidendereng dan dari luwu. Orang Sidendreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti "Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan" (Ditulis oleh penulis Eropa Y.Kruit), sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah "orang yang berdiam di sebelah barat".
Disamping kedua kata tersebut diatas ada pula yang berpendapat bahwa nama Toraja berasal dari nama seorang raja yang berasal dari Tondok Lepongan Bulan nama Puang Lakipadada yang datang ke Gowa pada akhir abad ke-13.

Dalam sejarah Toraja Puang Lakipadada ini adalah seorang cucu dari seorang Puang Tomanurun Tamboro Langi’ atau anak dari Puang Sanda Boro dari istana/tongkonan Batu Borong bagian sebelah selatan Tondok Lepongan Bulanana/tongkonan Batu Borong bagian sebelah selatan Tondok Lepongan Bulan yang pergi mengembara, yang dalam sejarah dan mitos Lakipadada mengtakan bahwa Lakipadada itu pergi mencari hidup abadi dan tiba2 terdampar di kerajaan Gowa sebagai orang yang tidak dikenal dan tidak diketahui dari mana asalnya, hanya saja pada diri Lakipadada ini ada tanda2 diri Lakipadada ini ada tanda2 yang meyakinkan bahwa beliau adalah keturunan Raja atau kerajaan yang besar.

Pendapat umum di Gowa mengatakan bahwa turunan/anak Raja yang tidak dikenal itu berasal dari sebelah timur, sesuai dengan mitos asal raja2 di sulawesi-selatan, maka dengan demikian menyebut Puang Lakipadada itu dengan nama Toraya, asal To atau Tau (orang), Raya dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan.

Berhubung Puang Lakipada ini berasal Tondok Lepongan Bulan, maka nama Tondok Lepongan Bulan pun dinamai Tana Tau Raya yang kemudian menjadi Tana Toraja.

Dalam sejarah Toraja sejak dari zaman purba sampai pada abad ke-XII, Tana Toraja telah mengalami 3 kali perubahan bentuk kekuasaan dan pemerintahan dengan gelar masing2 bagi penguasa2nya karena mengikuti gelombang datangnya penguasa2 dari tiap gelombang itu masing2 :
Penguasa yang pertama dengan gelar Ambe’ atau siambe’ Pong (berasal dari ambe Arroan dan Pong Pararrak), maka terjadilah gelar siambe Pong misalnya :

• Siambe Pong Simpin
• Siambe Pong Tiku
• Siambe Pong Maramba’ dll.

Penguasa kedua dengan gelar Puang sebagai penguasa yang terbentuk dari Bamba Puang daerah Selatan Tana Toraja asalnya dari Puang Lembang yang setiap gelar penguasanya disambung dengan nama Tongkonanna atau tempatnya yang dikuasai misalnya :

• Puang ri Tabang
• Puang ri Barang dll.

Penguasa yang ketiga dengan gelar Ma’dika yaitu gelar penguasa yang diciptakan oleh Tangdilino’ penguasa pertama dari Banua Puan marinding yaitu seorang Puang yang memerdekakan dirinya dari aturan dan kungkungan Puang dan kata Ma’dika ini mungkinsekali berasal dari kata Maradika (merdeka=bebas). Misalnya :

• Ma’dika Simbuang
• Ma’dika Ulusalu
• Ma’dika Mamasa dll

Lama-kelamaan penyebutan Toraya berubah menjadi "Tana" berarti negeri dan "To Raja" Berarti Para Raja , sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja (Negeri Para Raja) sampai saat ini, yang sekarang dibagi menjadi 2 (Dua) Kabupaten (Tana Toraja & Toraja Utara).

Selanjutnya saya tidak membahas masalah “Bagi Dua” karena saya yakin yang baca ini sudah lahir dan bahkan lebih banyak tau tentang alasan kenapa sekarang dibagi menjadi dua kabupaten, maklum saya kurang paham politik dan strategi pemerintahan.

MAKNA ALUK DAN ADA'

Aluk dan Ada’ memiliki perbedaaan yang sederhana tapi memiliki makna perbedaan yang dalam. Aluk adalah aturan masyarakat Toraja khusus tentang aturan keaagamaan , sedangkan Ada’ adalah aturan masyarakat Toraja tentang aturan adat dan budaya. Lalu kemudian Aluk dan Ada’ disatukan tanpa mengurangi nilai dari masing-masing Aluk dan Ada’. Seperti kita jumpai pada setiap acara Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’. Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’ akan saya coba bahas di artikel berikutnya.

Dipercaya manusia yang turun ke bumi telah dibekali dengan aturan keagamaan yang disebut aluk. Aluk merupakan aturan keagamaan yang menjadi sumber dari budaya dan pandangan hidup leluhur suku Toraja yang mengandung nilai-nilai religius yang mengarahkan pola-pola tingkah laku hidup dan ritual suku Toraja untuk mengabdi kepada Puang Matua.

Tahapan perkebangan Aluk dan Ada’ Bermula dari tahapan Tipamulanna Aluk ditampa dao langi' yakni permulaan penciptaan Aluk diatas langit, Mendemme' di kapadanganna yakni Aluk diturunkan ke bumi oleh Puang Buru Langi’ Dirura. Kedua tahapan ini lebih merupakan mitos. Dalam penelitian pada hakekatnya aluk merupakan budaya/aturan hidup yang dibawa kaum imigran dari dataran Indo Cina pada sekitar 3000 tahun sampai 500 tahun sebelum Masehi.
Beberapa Tokoh penting dalam penyebaran aluk, antara lain: Tomanurun Tambora Langi' adalah pembawa aluk Sabda Saratu' yang mengikat penganutnya dalam daerah terbatas yakni wilayah Tallu Lembangna.

Selain itu terdapat Aluk Sanda Pitunna disebarluaskan oleh tiga tokoh, yaitu : Pongkapadang bersama Burake Tattiu' menuju bagian barat Tana Toraja yakni ke Bonggakaradeng, sebagian Saluputti, Simbuang sampai pada Pitu Ulunna Salu Karua Ba'bana Minanga, derngan membawa pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja "To Unnirui' suke pa'pa, to ungkandei kandian saratu” yakni pranata sosial yang tidak mengenal strata. Kemudian Pasontik bersama Burake Tambolang menuju ke daerah-daerah sebelah timur Tana Toraja, yaitu daerah Pitung Pananaian, Rantebua, Tangdu, Ranteballa, Ta'bi, Tabang, Maindo sampai ke Luwu Selatan dan Utara dengan membawa pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja : "To Unnirui' suku dibonga, To unkandei kandean pindan", yaitu pranata sosial yang menyusun tata kehidupan masyarakat dalam tiga strata sosial.
Tangdilino bersama Burake Tangngana ke daerah bagian tengah Tana Toraja dengan membawa pranata sosial "To unniru'i suke dibonga, To ungkandei kandean pindan", Tangdilino diketahui menikah dua kali, yaitu dengan Buen Manik, perkawinan ini membuahkan delapan anak. Perkawinan Tangdilino dengan Salle Bi'ti dari Makale membuahkan seorang anak.
Kesembilan anak Tangdilino tersebar keberbagai daerah, yaitu Pabane menuju Kesu', Parange menuju Buntao', Pasontik ke Pantilang, Pote'Malla ke Rongkong (Luwu), Bobolangi menuju Pitu Ulunna Salu Karua Ba'bana Minanga, Bue ke daerah Duri, Bangkudu Ma'dandan ke Bala (Mangkendek), Sirrang ke Dangle.

Dan kemudian Itulah yang membuat seluruh Tondok Lepongan Bulan Tana Matari' Allo diikat oleh salah satu aturan yang dikenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan Tana Matari' Allo arti harfiahnya adalah "Negri yang bulat seperti bulan dan Matahari". Nama ini mempunyai latar belakang yang bermakna, persekutuan negeri sebagai satu kesatuan yang bulat dari berbagai daerah adat. Ini dikarenakan Tana Toraja tidak pernah diperintah oleh seorang penguasa tunggal, tetapi wilayah daerahnya terdiri dari kelompok adat yang diperintah oleh masing-masing pemangku adat dan ada sekitar 32 pemangku adat di Toraja.
Pa’Gorri’ku (Catatanku): Jika ada agama masuk ke Tana Toraja untuk mengurangi bahkan menghapus nilai-nilai adat maka agama tersebut sebaiknya angkat kaki dari Toraja sebelum saya dan para pecinta adat Toraja bersama pemuka-pemuka adat akan mengusir dengan cara orang Toraja.

AERI KATA “TONDOK LEPONGAN BULAN, TANA MATARI’ ALLO”

Tondok Lepongan Bulan, Tana Matari’ Allo nama sebutan Tana Toraja sebelum muncul nama Tana Toraja. Tondok Lepongan Bulan, Tana Matari’ Allo nama sebutan Tana Toraja (Tondok “negeri”, Lepongan “kebulatan/kesatuan”, Bulan “bulan”, Tana “negeri”, Matari’ “bentuk”, Allo “matahari”), yang artinya “Negeri yang bulat seperti Bulan dan Matahari”, Negeri yang pemerintahan dan kemasyarakatannya berke-Tuhan-an yang merupakan kesatuan yang bulat bentuknya bagaikan bundaran bulan/matahari, wilayah daerahnya terdiri dari kelompok adat yang diperintah oleh masing-masing pemangku adat dan ada sekitar 32 pemangku adat di Toraja.

Nama Lepongan Bulan atau Matari’ Allo adalah bersumber dari terbentuknya negeri ini dalam suatu kebulatan / kesatuan tata masyarakat yang terbentuk berdasarkan :
  1. Persekutuan atau kebulatan berdasarkan suatu ajaran Agama / Keyakinan yang sama yang dinamakan Aluk Todolo, mempergunakan suatu aturan yang bersumber / berpancar dari suatu sumber yaitu dari Neger Marinding Banua Puan yang dikenal dengan Aluk Pitung Sa'bu Pitu Ratu' Pitung Pulo Pitu atau Aluk Sanda Pitunna (Aturan/Ajaran 7777). 
  2. Oleh beberapa Daerah Adat yang mempergunakan satu Aturan Dasar Adat dan Budaya yang terpancar / bersumber dari satu Aturan.
  3. Dibentuk oleh satu suku bangsa Toraja.
  4. Karena perserikatan dan kesatuan kelompok adat tersebut, maka diberilah nama perserikatan bundar atau bulat yang terikat dalam satu pandangan hidup dan keyakinan sebagai pengikat seluruh daerah dan kelompok adat tersebut.
Sumber : 


No comments:

Post a Comment