Saturday, September 21, 2019

Tingkatan Upacara Prosesi Kematian/Rambu Solo' di Toraja



Salah satu budaya toraja yang terkenal dan senantiasa menarik perhatian wisatawan, adalah “rambu solo’” yaitu adat istiadat disekitar upacara kematian dan penguburan. Upacara yang berlatarbelakang kepercayaan politeis ini mengandung nilai budaya yang tinggi dan sangat bernilai bahkan begitu mengikat masyarakat Toraja. Permasalahan mulai terjadi ketika pemberitaan Injil mulai masuk ke toraja. Perjumpaan ini menyebabkan terjadinya benturan antara kebenaran-kebenaran Kristiani dengan berbagai konsep dan ritual dalam upacara rambu solo’. Ketegangan yang masih terus berlanjut hingga kini menuntut gereja toraja perlu tegas (tidak sinkretis) memikirkan keterlibatannya dalam pemeliharaan kebudayaan toraja. Mana yang perlu dipertahankan dan mana yang harus dihilangkan perlu penjelasan secara komprehensif mengenai upacara rambu solo’ untuk kemudian dapat menolong kita mengambil sikap yang tepat dan benar ditengah-tengah ketegangan yang terjadi.
Untuk menuntun kita memahami mengenai rambu solo’ dalam keyakinan aluk todolo terlebih dulu perlu memahami hal-hal berikut :

a. Tempat Rambu Solo’ dalam Konfigurasi Budaya Toraja
b. Konsepsi Dasar Upacara Rambu Solo’
c. Tingkatan-tingkatan dalam Pelaksanaan Rambu Solo’
d. Simbol-simbol Upacara Rambu Solo’.

TEMPAT RAMBU SOLO DALAM KONFIGURASI BUDAYA TORAJA

Mitos toraja, menceritakan pada mulanya langit dan bumi masih bersatu. Ketika langit dan bumi berpisah, lahirlah tiga dewa yaitu: Pong Tulak Padang, Pong Bangga-irante, dan Gaun Tikembong. Ketiga dewa ini dikenal sebagai Puang Titanan Tallu, Tirindu Batu Lalikan (Tri dewa). Mereka yang menciptakan matahari, bulan dan bintang.
Gaun Tikembong kemudian mengambil sebuah rusuknya dan menjadikan dewa yang disebut: Usuk Sangbaban, yang kemudian kawin dengan Simbolon Manik yang keluar dari batu kemudian melahirkan Puang Matua. Puang Matua kawin dengan Arrang di Batu, dan dari perkawinan inilah Puang Matua melanjutkan proses penciptaan dengan kelahiran delapan orang anak kembar “Sauran sibarrung” (pupulan kembar) yaitu: Datu Laukku sebagai nenek moyang manusia; Allo Tiranda sebagai nenek moyang racun; Laungku sebagai nenek moyang kapas; Pong Pirik-Pirik sebagai nenek moyang hujan; Menturini sebagai nenek moyang ayam; Menturino sebagai nenek moyang kerbau, Riakko sebagai nenek moyang besi, Takkebuku sebagai nenek moyang padi.
Puang Matua kemudian menurunkan manusia pertama ke bumi yaitu Puang Bura Langi’. Ia kawin dengan wanita yang berasal dari dalam air bernama Kembong Bura. Dari perkawinan ini lahir keturunan manusia pertama di bumi (Pong pamula Tau). Kedatangan Puang Bura langi ke bumi juga dikawal oleh hambanya, Pong Pakulandi dengan memikul Aluk serba lengkap, yang disebut Aluk 7777777 atau Aluk Sanda Pitunna (serba tujuh/all around seven). Keturunan Puang Londong di Rura diceritakan sebagai manusia pertama di dunia yang melanggar Aluk yang dibawa oleh nenek moyangnya. Ia sangat kaya mempunyai empat orang anak, dua laki-laki dan dua perempuan. Karena takut hartanya lari pada orang lain, ia mengawinkan anak-anaknya menjadi pasangan suami-istri. Akibat pelanggaran terhadap Aluk yang merupakan tata aturan sosio religius, maka ia ditenggelamkan oleh Puang Matua. Eran di Langi (eran: tangga, langi’: langit) yang menghubungkan dunia dan langit diruntuhkan. Ini bermakna simbolik bahwa hubungan manusia dengan dewa-dewa menjadi terputus sama sekali.

JENIS-JENIS UPACARA RAMBU SOLO'

Berdasarkan status sosial orang atau tingkat ekonomi keluarga yang diupacarakan, aluk rambu solo’ dapat dibagi menjadi 4 jenis, yaitu:

1. Silli’, yakni upacara pemakaman untuk kasta paling rendah, yaitu kasta kua-kua atau budak. Upacara jenis ini tidak ada pemotongan hewan sebagai persembahan dan dibagi dalam beberapa bentuk, seperti dedekan (upacara pemakaman dengan memukulkan wadah tempat makan babi) dan pasilamun tallo manuk (pemakaman bersama telur ayam).

2. Pasangbongi, yakni upacara yang hanya berlangsung satu malam. Yang termasuk jenis ini antara lain bai a’pa’ (persembahan empat ekor babi), si tedong tungga (persembahan satu ekor babi), di isi (pemakaman untuk anak yang meninggal sebelum tumbuh gigi dengan persembahan seekor babi), dan ma’ tangke patomali (persembahan dua ekor babi).

3. Di batang atau di doya tedong, yakni upacara untuk kasta tana’ basi (bangsawan menengah) dan tana’ bulan (bangsawan tinggi). Selain kerbau, upacara jenis ini juga mempersembahkan babi dan ayam. Upacara biasanya digelar selama 3-7 hari berturut-turut. Pada akhir acara, dibuatkan sebuah simbuang (menhir) sebagai monumen untuk menghormati orang yang wafat.

4. Rapasan, yakni upacara khusus bagi golongan tana’ bulan (bangsawan tinggi) yang digelar selama 3 hari 3 malam.

TINGKATAN-TINGKATAN UPACARA PEMAKAMAN DALAM ALUK TODOLO : 

1. Disilli : upacara pemakaman yang paling sederhana. Dulu, orang miskin dari tingkatan budak sering dikuburkan dengan cara yang menyedihkan, misalnya dengan hanya membekali mayat dengan telur ayam, tetapi sekarang rata – rata keluarga menguburkan orang mati dengan memotong seekor babi. Upacara penguburan disilli adalah aluk golongan masyarakat budak, terutama untuk menguburkan anak yang belum dewasa.
Anak yang lahir dan meninggal ditanam bersama urihnya tanpa upacara keagamaan. Sedangkan, anak yang meninggal sebelum giginya tumbuh, dimasukkan ke dalam pohon kayu besar dengan upacara sederhana dan tanpa pembalut kain.Pohon tempat penguburan ini disebut LIANG PIA atau PASSILLIRAN. Kedua cara penguburan ini, berlaku bagi semua golonga, baik golongan bangsawan maupun golongan rendahan.

2. Dipasangi Bongi. Upacara penguburan orang mati yang acaranya hanya satu malam di rumah dan hanya seekor kerbau dipotong dan beberapa ekor babi. Upacara ini bagi orang tua dari golongan terendah atau golongan menengah yang tidak mampu ekonominya.

3. Dipatallung Bongi. Upacara penguburan ini berlangsung selama tiga malam di rumah. Empat ekor kerbau dipotong dan babi sekitar sepuluh ekor. Hari kedua, tamu datang membawa sumbangan berupa babi, tuak, dan umbi – umbian. Beberapa tempat nasi tidak boleh dimakan di tempat itu dan semua keluarga terdekat mempunyai kewajiban untuk pantang makan nasi selama berlangsungnya upacara dan beberapa hari sesudah upacara. Selama tiga malam berturut – turut diadakan acara ma’badong.

4. Dipalimang Bongi. Upacara pemakaman yang berlangsung selama lima hari lima malam. Hari ketiga adalah hari penerimaan tamu. Tamu atau kenalan mendapat kesempatan membawakan sumbangan berupa minuman tuak, buah – buahan, umbi – umbian, kerbau, rokok ataupun gula pasir.
Sembilan ekor kerbau dan puluhan ekor babi dipotong. Patung orang yang meninggal itu dibuat dari bamboo. Patung itu disebut TAU – TAU LAMPA. Tau – tau ini dihiasi dengan pakaian adat tetapi pada waktu hari penguburan, pakaian dan perhiasan diambil kembali. Tidak semua kampung mengadakan pemakaman seperti ini. Upacara pemakaman ini merupakan upacara tingkat yang paling tinggi.Pada malam terakhir diadakan persiapan untuk satu acara khusus yang disebut acara MA’PARANDO, dimana semua cucu almarhum yang sudah gadis, diarak pada malam hari, duduk diatas bahu laki – laki dengan perhiasan semacam pakaian penari yang terdiri dari perhiasan emas goyang dan kandaure. Mereka dibawa keliling rumah tiga kali dengan memakai obor. Para penonton memuji kecantikan gadis, namun adapula yang mencemoohnya. Orang yang mencemooh tidak dimarahi selama masih dalam batas – batas norma kesusilaan. Sepanjang lima malam selalu dilakukan ma’badong. Seluruh anggota keluarga berpantang tidak makan nasi sampai seluruh embel – embel acara selesai.

5. Dipapitung Bongi. Upacaranya 7 hari 7 malam. Setiap malam dan setiap hari ada acara pemotongan kerbau dan babi. Keluarga terdekat pantang makan nasi selama acara berlangsung. Acara hari penerimaan tamu lebih meriah banyak babi dipotong, kerbau 9 sampai 20 ekor. Kepala kerbau diperuntukkan bagi rumah tongkonan dan daging kerbau diberikan kepada tamu dan penduduk desa.

6. Dirapai. Upacara penguburan orang mati yang paling mahal ialah mangrapai karena dua kali diupacarakan sebelum dikubur. Upacara pertama diadakan di rumah tongkonan dan kemudian diistirahatkan satu tahun, baru upacara kedua diadakan. Upacara pertama dalam bahasa daerah disebut dialuk pia. Pada upacara kedua, orang mati diarak dengan pikulan ratusan orang dari rumah tongkonan ke rante (tempat upacara kedua). Upacara ini disebut ma’paolo / ma’pasonglo’. Orang mati dibungkus kain merah dilapisi emas, diikuti oleh tau-tau dan janda almarhum dalam usungan yang dihiasai emas serta diiringi oleh puluhan ekor kerbau jantan yang berhias yang siap untuk diadu satu lawan satu. Setelah tiba di rante, mayat dinaikkan ke satu penuhi tinggi khusus tempat orang mati itu (lakkian). Acara – acara lain menyusul, seperti acara adu kerbau, acara sisemba, dan acara tari – tarian.

Dirapai dibagi menjadi tiga :

1. Rapasan dilayu-layu dengan target terendah dua belas ekor kerbau.
2. Rapasan sundun/Rapasan Barata dengan target minimum 24 ekor kerbau yang dipotong.
3. Rapasan sapurandanan dengan jumlah kerbau yang dipotong paling rendah 30 ekor.

Ketiga tipe rapasan ini memotong babi ratusan ekor dan puluhan kerbau belang yang mahal harganya.
Pada rapasan sapurandanan, kerbau yang dipotong terdiri dari semua warna bulu kecuali warna kerbau putih (tedong bulan) atau dengan kata lain semua jenis kerbau harus di penuhi.

Nah itulah penjelasan tentang Rambu Solo' dan tingkatannya dalama strata sosial masyarakat toraja semoga bermanfaat, Thank you for comin'.

REFERENSI :

https://www.facebook.com/search/top/?q=tingkatan-tingkatan%20rambu%20solo%27&epa=SEARCH_BOX

No comments:

Post a Comment